Amsal Perjalanan Pulang

31 Oktober 2017
|
2180

Semut yang berada nun jauh di sana, tampak. Akan tetapi gajah di pelupuk mata sendiri, tidak tampak. Itulah ihwal yang dialami dua orang berikut ini. Orang pertama nggolek banyu tapi apikulan warih (mencari air tetapi sedang memikul kendi yang penuh air). Orang kedua nggolek geni tapi adedamar (mencari api tetapi sedang menggenggam pelita yang apinya menyala terang). Apakah mereka bodoh? Boleh jadi ya. Boleh jadi pula tidak. Sebab, air yang dipikul itu bukan air biasa. Pelita yang digenggam itu pun bukan pelita biasa. Mata lahir tidak dapat menyaksikannya. Air dan pelita itu ada di seberang apa yang tampak, berada di dunia yang melampaui fisik. Air yang sesungguhnya sedang dipikul itu dan pelita yang sejatinya sedang digenggam itu hanya dapat disaksikan dengan mata batin, dengan rasa yang halus dan tajam. Tidak semua orang mau dan mampu mengasah rasanya sehingga halus dan tajam. Itulah sebabnya, si pencari api tidak mengetahui bahwa dia sedang menggenggam pelita, si pencari air tidak menyadari bahwa dia sedang memikul kendi penuh air. Lantas, apakah air yang dipikul itu? Apakah pelita yang digenggam itu? Peribahasa pertama berbunyi, nggolek banyu apikulan warih. Meskipun sama-sama air, banyu dan warih berbeda. Banyu adalah air pada umumnya. Air laut, air sungai, air hujan, dan air-air lainnya adalah banyu. Warih adalah air yang digunakan untuk bersuci. Sinomim warih adalah tirta. Hanya warih dan tirta yang bermakna kudus dan yang digunakan dalam ritual keagamaan. Warih, juga tirta, adalah banyu yang istimewa. Kalau orang merasa bahwa dosanya telah seberat dan sebesar gunung, dia harus mencari warih, bukan banyu. Dengan warih itu dia mensucikan kehidupannya dari najis keakuan. Dia yang telah begitu menyesal dengan dosa-dosanya pasti ingin bertaubat, tetapi pada awalnya berjalan berputar-putar dalam kebingungan. Akibatnya, dia tidak dapat membedakan mana banyu, mana pula warih. Banyu disangkanya warih. Itulah yang kita saksikan dalam Gerakan Zaman Baru (New Age) di Barat yang mulai meruyak setelah Perang Dunia II. Anak-anak muda, yang jengah dengan kehampaan dan kegersangan peradaban Barat, mencari air untuk memulihkan religiositas dan kemanusiaannya. Seringkali, yang mereka peroleh adalah banyu, bukan warih dalam arti spiritualisme palsu, bukan spiritualisme sejati. Mereka mencari banyu yang ada di luar sana. Padahal, apa yang seharusnya dan sejatinya meraka cari, yaitu warih, ada di dalam sini, di dalam dada mereka sendiri. Mereka nggolek banyu, tapi apikulan warih. Peribahasa kedua berbunyi, nggolek geni adedamar. Peribahasa ini adalah varian dari peribahasa pertama. Makna pokok kedua peribahasa tersebut, sama. Api adalah lambang spiritualitas. Ia membakar apa pun yang disentuhnya. Ludes tak bersisa, tak berjejak. Pelampah spiritual ibarat ngengat yang terbang menuju api dengan suka cita, dengan rindu dendam. Ngengat memusnahkan keakuannya di dalam api. Terbakar habis oleh api, ngengat menjadi tiada. Yang ada dan tetap saja ada tinggal api itu sendiri. Dalam salah satu puisinya Sapardi Djoko Damono mengungkapkan hal ini dengan gaya bahasa yang kuat, indah, segar, tapi sederhana. ÔÇ£Aku inginÔÇØ, tulisnya, ÔÇ£mencintaimu dengan sederhana/dengan kata yang tak sempat diucapkan kayu/kepada api yang menjadikannya abuÔÇØ. Bagi pencari yang kebingungan, api itu berada jauh di luar sana, jauh di puncak gunung Olympus. Demi menyembuhkan gigil kedinginannya dan kaku kebekuannya dia mencari bahkan mengejar api itu. Dia berhasrat merebut api itu, bahkan dari tangan dewata. Kalau dewata tak memberikan api itu dengan suka rela, dia akan mencurinya. Dia mau meniru dan mengulang apa yang telah dilakukan Prometheus. Dia tidak juga sadar bahwa api yang di luar sana hanyalah api majazi. Api hakiki senyatanya telah menyala pada sebuah pelita. Pelita itu sendiri sudah digenggamnya, jauh sebelum dia merasa membutuhkan api. Tapi, bagi pencari yang diberkahi petunjuk, api itu ada di dalam sini. Ia tidak di luar sana. Hamzah Fanshuri, ulama Jawi Kawentar yang hidup di Barus, Sumatera, itu berkata, ÔÇ£Hamzah Fanshuri di dalam Mekah/mencari Tuhan di Baitul KaÔÇÖbah/dari Barus ke Kudus terlalu payah/akhirnya dijumpa di dalam rumahÔÇØ. Tidak salah lagi, air yang dicari itu sudah berada dalam kendi yang sedang dipikul. Api yang dicari itu pun sudah menyala pada pelita yang sedang digenggam. Al-Quran menjelaskan, Allah sebegitu dekat dengan kita, lebih dekat dari urat leher kita sendiri. Hanya saja, kita sering lupa untuk menata pikir, mengolah budi, mengasah rasa. Jadi, mari pulang ke dalam diri. Mari membersihkan cermin hati dengan sekendi warih yang pada hakikatnya sedang kita pikul. Mari membakar habis kegalauan dengan api pelita yang pada hakikatnya sedang kita genggam. Mari berjalan menuju-Nya, bersama dengan-Nya. Di kedalaman lubuk dada pribadi, bertahta guru sejati. Sosrokartono, santri Kiai Saleh Darat, berpesan, ÔÇ£Murid gurune pribadi; guru muride pribadiÔÇØ. Guru si murid adalah pribadi murid sendiri. Murid sang guru adalah pribadi guru itu sendiri pula. Sunan Kalijaga, melalui lakon wayang carangan yang digubahnya, telah mewedarkan bahwa tirta yang dicari Bima ternyata tersimpan dalam dirinya sendiri. Kalbu Bima adalah rumah suci tempat bersemayamnya Dewa Ruci, hakikat tirta yang dia cari-cari itu. Wallahu al-ÔÇÿalim, wa ÔÇÿabduhu al-jahil. *Buletin Jumat Masjid Jendral Sudirman, Edisi 7 Oktober 2016

Category : buletin

SHARE THIS POST


ABOUT THE AUTHOR

Lintang Noer Jati