Berdialog dan Memberi Ruang Untuk Anak Muda

slider
05 November 2025
|
484

Judul: Generasi Kembali Ke Akar: Upaya Generasi Muda Meneruskan Imajinasi Indonesia | Penulis: Dr. Muhammad Faisal | Penerbit: Buku Kompas, Cet. Kedua, 2021 (edisi revisi) | Tebal: xix + 299 halaman | ISBN: 978-623-346-009-5

Kerap kali narasi yang mengemuka tentang anak muda, terkhusus lagi Generasi Z (kelahiran 1997-2012, selanjutnya disebut Gen Z) yakni generasi yang haus akan validasi dan pujian. Keberadaan mereka lalu dikonotasikan sangat bergantung pada berapa jumlah pengikut dan yang menyukai konten media sosial. Begitu pula mereka akan merasa keberadaannya tidak dianggap bila setiap usahanya tidak mendapat pengakuan dari pihak lain. Bahkan tidak sedikit juga anggapan sinis yang mengatakan bahwa generasi ini memang adaptif terhadap perkembangan teknologi, namun dangkal dalam memahami substansi dari setiap permasalahan yang mereka hadapi.

Anggapan ini tidak sepenuhnya keliru, meski tidak bisa juga menjadi pembenaran atas perilaku pemuda masa kini yang cenderung ingin diberi ruang dalam mengekspresikan keinginan. Bagaimanapun, generasi muda yang lahir dan bertumbuh di dekade kedua abad ke-21 akan menjadi penerus dalam menyambut bonus demografi mendatang.

Kelompok pemuda memang tidak diragukan lagi semangat dan etos kerjanya. Sejarah Indonesia juga telah mencatat bahwa kemerdekaan bangsa ini tidak lepas dari kelompok pemuda yang membawa semangat membara serta ide-ide segar dalam upayanya mewujudkan Indonesia yang merdeka dari penjajahan kolonial. Tidak dapat dilupakan pula bagaimana perjalanan bangsa Indonesia dalam mengisi kemerdekaannya banyak diinisasi oleh kalangan pemuda.

Lalu bagaimana sikap kita dalam memandang pemuda masa kini? Dapatkah pemuda yang hidup di abad ke-21 dengan segala kecanggihan teknologi yang ada dikehidupannya melampaui pemuda pada zaman pra-kemerdekaan dan masa awal kemerdekaan? Pernahkah kita mencoba untuk berdialog dan memahami kehidupan pemuda masa kini dari sudut pandang mereka?

Alih-alih hendak mendikte kehidupan anak muda masa kini, buku berjudul Generasi Kembali ke Akar: Upaya Generasi Muda Meneruskan Imajinasi Indonesia justru dapat menjadi jawaban atas krisis dan kegalauan eksistensial, atau bahkan kekhawatiran generasi terdahulu dalam memandang pemuda di zaman serba media saat ini. Melalui buku ini, dipaparkan oleh penulis tentang bagaimana proses kultural yang sedang dialami oleh generasi muda Indonesia serta embrio perubahan yang dibawanya (hlm. 79).

Berdasarkan hasil riset etnografi dari berbagai daerah di Indonsesia, Dr. Muhammad Faisal melalui buku ini hendak membangun narasi tentang pemuda-pemuda Indonesia yang konteksnya sangat jauh berbeda dari apa yang selama ini menjadi stereotipe tentang karakteristik anak muda masa kini. Dalam paparannya, penulis menerangkan bahwa embrio perubahan yang dibawa oleh pemuda Indonesia berlawanan dengan arus generasi dari berbagai negara di belahan dunia lainnya.

Pemuda Sebagai Pewaris Nilai Luhur Bangsa

“Kembali ke akar” yang digunakan oleh penulis bukan bermaksud untuk bersikap konservatif dan menutup diri atas perkembangan global. “Kembali ke akar” yang dimaksud di sini yakni bagaimana pemuda tetap memegang teguh nilai-nilai luhur bangsa dalam menghadapi berbagai tantangan yang semakin kompleks. Berbagai tantangan yang dihadapi merupakan konsekuensi logis dari perkembangan zaman yang berlangasung begitu cepat. Ini merupakan momen kebangkitan kesadaran kultural, identitas, ideologi, dan spiritual yang akan dipelopori oleh generasi muda Indonesia (hlm. 263).

Bahwa ikut menyesuaikan diri dengan perkembangan global termutakhir tidak dapat dihindari akibat semakin tipisnya sekat-sekat yang memisahkan tiap wilayah dan tiap budaya. Di sisi lain, mempertahankan nilai-nilai luhur yang telah diwariskan secara turun temurun juga merupakan suatu keharusan agar generasi muda masa kini tidak mengalami krisis identitas yang dapat berpotensi pada timbulnya perasaan krisis eksistensial dalam diri mereka.

Anak Muda Lebih dari Sekedar Angka

Disampaikan oleh penulis pada bagian pengantar buku, bahwa untuk memahami pola perilaku anak muda tidak cukup jika hanya mengandalkan kuisioner yang hanya melihat anak muda sebatas pada angka-angka yang ujung-ujungnya hanya menjadi objek target marketing. Lebih dari itu, untuk mendapatkan pemahaman lebih mendalam tentang laku hidup anak muda, diperlukan interaksi secara langsung dan intens serta terlibat langsung dikehidupan mereka. Lewat buku ini pula, penulis tampak berupaya memberikan pandangan optimis dan penuh keyakinan terkait narasi pemuda Indonesia dalam menghadapi era bonus demografi yang akan mencapai puncaknya pada tahun 2035 mendatang.

Meski berasal dari latar belakang pendidikan psikologi, penulis dalam penyajian buku ini tidak terjebak pada paradigma keilmuan yang monodisiplin, melainkan lintas disiplin keilmuan. Penggunaan pendekatan multidisiplin ini pula yang menjadi keunggulan dari buku ini. Sebagai contoh pada bagian pertama buku, penulis tampak menggunakan pendekatan sejarah dalam memahami dan memetakan siklus gerakan pemuda di Indonesia yang secara faktual selalu menjadi motor dan garda terdepan dalam perubahan.

Di bagian pertama buku ini, penulis dengan berdasarkan pada fakta sejarah di Indonesia tampak jeli dalam memetakan beragam fase kebangkitan pemuda Indonesia disertai dengan ciri khas masing-masing di setiap generasinya. Kita dapat mengetahui siklus generasi pengubah Indonesia yang dimulai dari Generasi Alpha (remaja-dewasa muda yang lahir pada 1900 hingga 1930-an); Generasi Beta (1940-an hingga 1966); Generasi Theta (1970-an hingga 1998); Generasi Phi (1998 hingga 2004-an); dan Generasi Neo Alpha (2004-sekarang).

Sebagai justifikasi atas argumen penulis, buku ini banyak mengutip berbagai penelitian terdahulu yang berkaitan dengan tema besar seputar anak muda sehingga sisi ilmiah dari buku ini tidak perlu diragukan lagi. Namun teknis pengutipan yang tidak mencantumkan halaman yang dikutip oleh penulis membuat kita sebagai pembaca sedikit mengalami kesulitan dalam melacak lebih jauh rujukan dari buku ini. Tentu hal ini masih dapat kita maklumi mengingat penyusunan buku ini menyasar—meski tidak selamanya, ke kaum muda, yang tidak ingin terjebak dalam kekakuan penulisan jurnal ilmiah.

Desain buku yang full colour dan disertai dengan beragam gambar ilustrasi menjadi salah satu hal yang menarik. Ditambah pilihan narasi yang lugas namun tetap berpedoman pada Kamus Besar Bahasa Indonesia membuat kita sebagai pembaca dengan mudah dapat memahami maksud yang hendak disampaikan oleh penulis.

Gaya bahasa penulis yang seakan-akan berinteraksi langsung dengan pembaca, membuat buku ini sangat cocok sebagai teman waktu luang. Saat membacanya kita seperti membaca sebuah novel yang berdasarkan pada fakta-fakta empirik, sangat mengalir dan tidak ada pembahasan yang berulang-ulang.

Kreativitas Pemuda di Tengah Bonus Demografi

Kekhawatiran yang kerap muncul terhadap kehidupan anak muda masa kini di antaranya adalah pemahaman mereka yang cenderung dangkal dalam memahami suatu persoalan. Kedangkalan pemahaman ini merupakan akibat dari semakin intensnya penggunaan media sosial yang tanpa disadari telah menyita banyak waktu.

Bagi mereka yang terbiasa membaca quote singkat ataupun mengonsumsi video-video pendek berdurasi kurang dari satu menit, hal ini berpotensi mematikan nalar pikir kritis seorang pemuda, akhirnya cenderung menjebak mereka pada citraan konten media sosial. Namun pembahasan buku ini justru menunjukkan hal sebaliknya dan temuan-temuan di lapangan membuat kita sebagai pembaca akan tercengan.

Sebagai sebuah karya yang lahir dari proses riset yang panjang, hal yang menarik dari pembahasan buku Generasi Kembali ke Akar yakni afirmasi atas kreativitas generasi muda Indonesia sebagai peluang besar dalam menyambut datangnya era bonus demografi. Oleh penulis, masyarakat terutama generasi muda perlu diberi kepercayaan dan dukungan untuk mengeluarkan daya kreatifnya dalam mewujudkan cita-cita nasional (hlm. 161).

Penulis banyak menyinggung hadirnya ruang-ruang kreatif anak muda di berbagai daerah yang tumbuh dari aspirasi sosial akan kebutuhan ruang publik yang bukan hanya berdasarkan pada kebutuhan ekonomi semata. Lebih dari itu, kreativitas muncul sebagai buah apresiasi terhadap spiritualitas, harmonisasi hubungan manusia dengan alam, serta upaya untuk mendekatkan manusia dengan Tuhan (hlm. 165).

Buku ini sangat cocok dibaca bagi mereka, utamanya dari kalangan Generasi Phi, yang saat ini sedang mengalami kegalauan akan masa depan dan kecemasan berlebih atas ketersediaan ruang ekspresi bagi mereka. Dengan penuh rasa optimis, penulis mencoba mengajak para pemuda masa kini untuk percaya diri menyambut 100 tahun Kemerdekaan Indonesia dimana generasi pemuda saat inilah yang akan menjadi motor penggeraknya.

Pada momen 100 tahun Kemerdekaan Indonesia, narasi kebangsaan akan 100% menjadi milik generasi muda saat ini. Hanya dengan optimis, percaya diri, dan kembali ke akar, generasi muda akan mampu mengimajinasikan Indonesia dalam cetak biru yang jauh lebih maju, sejahtera, dan bahagia.


Category : resensi

SHARE THIS POST


ABOUT THE AUTHOR

Ammar Mahir Hilmi

Mahasiswa Magister Kajian Budaya dan Media Sekolah Pascasarjana UGM