Kematian Bukan Akhir, Tetapi Pertanyaan: Eksperimen Eksistensial ala Vladimir Jankelevitch

slider
12 November 2025
|
185

Kita semua tahu bahwa kita sebagai manusia akan mati, namun tak seorang pun pernah mengalami kematian sendiri. Di situlah filsafat terperangkap: dalam jurang antara kepastian logis dan ketidakmungkinan eksistensial. Sementara banyak filsuf berusaha menjinakkan kematian dengan menjadikannya objek refleksi, Vladimir Jankelevitch justru berani mengatakan apa yang tak nyaman didengar: kematian tidak bisa dipikirkan. Bukan karena ia terlalu jauh, tetapi karena ia terlalu dekat, begitu dekat hingga kematian menguap begitu kita mencoba menangkapnya. Bagi Jankelevitch, bukan dalam jawaban, melainkan dalam keberanian bertahan di dalam pertanyaan itulah manusia menemukan keotentikan eksistensinya.

Filsuf Prancis abad ke-20 ini murid Leon Brunschvicg, kolega Emmanuel Levinas, dan pembaca setia Bergson. Vladimir Jankelevitch sepertinya terabaikan dalam narasi sejarah filsafat arus utama. Namanya tak sepopuler Sartre atau Camus, padahal pemikirannya tentang waktu, moralitas, dan kematian menyentuh kedalaman yang jarang disentuh oleh eksistensialisme konvensional. Ia tidak menulis tentang kematian sebagai horizon eksistensi, melainkan sebagai kehadiran yang absen, sebagai l’impensable yang tak terpikirkan.

Dalam karyanya yang provokatif, La Mort (1966), Jankelevitch menegaskan bahwa kematian bukanlah “milikku” seperti yang diklaim Heidegger dalam Sein und Zeit (1927). Sebaliknya, kematian adalah ketiadaan yang tak bisa dihuni, bahkan oleh pikiran sekalipun. Vladimir Jankelevitch lahir pada 31 Agustus 1903 dan meninggal pada 6 Juni 1985.

Inti filsafat Jankelevitch tentang kematian terletak pada penolakannya terhadap segala bentuk objektivikasi. Baginya, kematian bukan entitas, bukan peristiwa, bahkan bukan pengalaman. Ia adalah paradoks murni: kita tahu kematian pasti datang, tapi kita tak pernah benar-benar berada di dalamnya. Saat kematian tiba, “aku” telah lenyap—dan tanpa “aku”, tak ada yang bisa mengalami atau merefleksikannya. Maka, setiap upaya berpikir tentang kematian selalu berakhir dalam kegagalan ontologis. 

Dalam bahasa Jankelevitch yang puitis namun tajam dikatakan, “On ne meurt jamais: on est toujours vivant quand on meurt.” (Kita tak pernah mati: kita selalu hidup ketika mati). Kalimat ini bukan permainan kata, melainkan diagnosis radikal terhadap ilusi filosofis. Heidegger, misalnya, menganggap kematian sebagai possibility of impossibility, kemungkinan yang mengakhiri semua kemungkinan, namun tetap bisa “dihadapi” oleh Dasein sebagai bagian dari keotentikan diri. Jankelevitch menolak ini sepenuhnya. Baginya, menganggap kematian sebagai sesuatu yang bisa “dihadapi” atau “dimengerti” adalah bentuk hybris intelektual. Kematian bukan objek yang bisa dikuasai oleh kesadaran; ia adalah lubang hitam eksistensial yang menelan makna begitu kita mencoba mendekatinya.

Inilah yang ia sebut l’impensable: bukan ketidaktahuan biasa, tapi ketidakmungkinan struktural untuk memikirkan sesuatu yang justru mengakhiri kemampuan berpikir. Dalam konteks ini, kematian bukan akhir narasi hidup, melainkan penghentian narasi itu sendiri tanpa penutup, tanpa moral, tanpa makna akhir.

Jika kematian tak bisa dipikirkan, lalu apa yang tersisa bagi manusia? Bagi Jankelevitch, justru di sinilah filsafat mulai berfungsi: bukan sebagai pencari jawaban, tapi sebagai penjaga pertanyaan. Dan pertanyaan itu membawa kita pada hubungan dengan waktu.

Berbeda dengan pandangan linear yang melihat waktu sebagai deretan momen yang bisa diatur, Jankelevitch yang sangat dipengaruhi Henri Bergson memahami waktu sebagai aliran tak terduga, tempat kejutan, dan kontingensi bercokol. Kita tak memilih kapan lahir; kita tak tahu kapan mati. Hidup adalah rentang antara dua kebetulan yang tak bisa dikendalikan. Dalam ketidakpastian inilah, menurut Jankelevitch, terletak kebebasan sejati.

Namun kebebasan ini bukanlah kebebasan abstrak ala eksistensialisme klasik. Ia bersifat urgensi: karena kematian bisa datang kapan saja dan tak bisa diprediksi, apalagi dipersiapkan, maka tindakan moral harus dilakukan sekarang, tanpa penundaan. Jankelevitch menyebut ini sebagai le premier instant: bukan detik pertama secara kronologis, melainkan momen pertama kesadaran etis, ketika seseorang menyadari bahwa waktu tidak menunggu, dan bahwa setiap penundaan kebaikan adalah pengkhianatan terhadap kehidupan itu sendiri.

Dalam L’Imprescriptible (1971), Jankelevitch menekankan bahwa kejahatan seperti Holocaust tidak bisa “dimaafkan” atau “dilupakan” karena ia menghancurkan waktu itu sendiri. Holocaust menciptakan luka yang tak bisa disembuhkan oleh kronologi. Sebaliknya, kebaikan harus dilakukan tanpa syarat dan tanpa perhitungan, karena waktu tidak memberi jaminan kedua kesempatan.

Di sinilah filsafat Jankelevitch menunjukkan wajah etisnya yang paling tajam. Jika kematian tak bisa dipikirkan, maka satu-satunya respons yang otentik bukanlah spekulasi metafisik, melainkan tindakan. Etika, bagi Jankelevitch, bukan soal prinsip universal atau imperatif kategoris, tapi soal kepekaan terhadap kehadiran sesaat, kehadiran orang lain, kehadiran waktu, kehadiran tanggung jawab yang tak bisa ditunda.

Jankelevitch menyebut ini sebagai la morale du premier mouvement (moralitas gerak pertama): dorongan spontan untuk menolong, untuk menghormati, untuk hadir. Gerak ini tidak lahir dari pertimbangan rasional, melainkan dari pengakuan terhadap kerapuhan bersama. Dan kerapuhan itu, pada akhirnya, diakibatkan oleh kenyataan bahwa kita semua berada di bawah bayangan kematian, bayangan yang tak pernah benar-benar tampak, tapi terus menggerakkan kita.

Menariknya, ini berbeda dari etika Levinas, yang berakar pada wajah orang lain sebagai sumber tuntutan moral. Bagi Jankelevitch, waktu yang menguap bukan wajah adalah sumber urgensi etis. Kita tak butuh wajah untuk merasa bertanggung jawab; kita hanya perlu menyadari bahwa kita mungkin tak akan ada besok. Dalam kesadaran inilah, cinta, keadilan, dan belas kasih menjadi bukan pilihan, melainkan respons eksistensial yang tak terhindarkan.

Jankelevitch menolak setiap bentuk konsolasi metafisik baik itu dalam agama, ilmu pengetahuan, maupun filsafat sistematis. Ia tidak percaya pada keabadian jiwa, tidak percaya pada makna sejarah, dan apalagi pada teknologi yang berjanji menunda kematian selamanya. Baginya, semua itu hanyalah bentuk pelarian dari realitas paling mendasar: bahwa hidup tidak utuh, tidak lengkap, dan tidak pernah selesai.

Namun justru di sanalah keindahannya terletak. Seperti musik—salah satu obsesi terbesarnya hidup tidak butuh resolusi akhir untuk bermakna. Cukup ia dimainkan dengan kejujuran, dengan intensitas dan dengan kesadaran akan keterbatasannya. Dalam La Musique et l’ineffable (1961), Jankelevitch menulis bahwa musik mengungkapkan yang tak terucapkan, bukan karena ia gagal berbicara, tapi karena ia berbicara dari luar bahasa. Demikian pula kematian: ia tak bisa dipikirkan, tapi justru karena itu ia membuka ruang bagi kehidupan yang autentik, hidup yang tak berpura-pura memiliki jawaban, tapi tetap berani bertanya.

Di tengah dunia kontemporer yang terobsesi dengan kontrol atas tubuh, umur, data, bahkan takdir, pemikiran Jankelevitch menjadi semacam counter-ritual. Ia mengajak kita untuk melepaskan ilusi tentang kekekalan, dan justru menemukan kebebasan dalam ketidakpastian. Bukan dengan pasrah, tapi dengan keberanian untuk bertindak tanpa jaminan. Bukan dengan menunggu makna, tapi dengan menciptakannya dalam setiap keputusan kecil yang tak bisa ditunda.

Vladimir Jankelevitch tidak memberi kita jalan keluar dari misteri kematian, karena memang tak ada jalan keluar. Apa yang ia tawarkan hanyalah cara hidup di dalam misteri itu: dengan rendah hati, waspada, dan penuh tanggung jawab. Kematian dalam pandangan Jankelevitch bukan akhir dari segalanya, melainkan pengingat bahwa hidup adalah hadiah yang tak bisa direncanakan, tapi harus dijawab bukan dengan kata-kata, melainkan dengan tindakan.

Dalam dunia yang terus-menerus mencari kepastian melalui AI, bioteknologi, atau ideologi, pemikiran filsafat Jankelevitch terdengar seperti bisikan dari masa lalu yang justru sangat futuristik: hiduplah seolah-olah waktu tak menunggu, karena memang tidak. Dan dalam kepasrahan aktif terhadap yang tak terpikirkan itulah, manusia menemukan martabatnya yang paling murni. Sebab pada akhirnya, bukan kematian yang mendefinisikan kita, tapi bagaimana kita hidup dalam bayangannya yang tak pernah benar-benar terlihat.

Referensi:

Bergson, H. (1999). Duration and Simultaneity: Bergson and the Einsteinian Universe (L. Jacobson, Trans.). Clinamen Press. (Original work published 1922).

Bordes-Benayoun, L. (2000). Vladimir Jankelevitch: Une philosophie de l’ineffable. Presses Universitaires de France.

Heidegger, M. (1962). Being and Time (J. Macquarrie & E. Robinson, Trans.). Harper & Row. (Original work published 1927).

Jankelevitch, V. (1961). La musique et l’ineffable. Editions du Seuil.

_____________. (1966). La mort. Flammarion.

_____________. (1971). L’imprescriptible: Pardonner? Dans l’imprescriptible ou l’impardonnable. Editions du Seuil.

_____________. (1980). Le je-ne-sais-quoi et le presque-rien (3 Vols.). Editions du Seuil.

Kelly, M. (2010). Jankelevitch’s “inexplicable guilt”: Ethics after the Shoah. In P. Hayes & J. K. Roth (Eds.), The Oxford handbook of Holocaust studies (pp. 603–618). Oxford University Press.

Lawlor, L. (2003). Vladimir Jankelevitch and The Impossibility of Forgiveness. Continental Philosophy Review, 36(4), 403–423. https://doi.org/10.1023/B:CONP.0000012024.23133.5d

Morgan, M. L. (Ed.). (2019). The Oxford Handbook of Levinas. Oxford University Press.

Rendon, G. (2022). Vladimir Jankelevitch: Philosophy, Temporality, and The Ineffable. Lexington Books.


Category : filsafat

SHARE THIS POST


ABOUT THE AUTHOR

Fawwaz Mantab Faradies

Mahasiswa Universitas Sunan Ampel Surabaya