Kisah Haman: Melacak Preservasi Tradisi Timur Tengah secara Intertekstual
Judul: Veiling Esther, Unveiling Her Story: The Reception of a Biblical Book in Islamic Lands | Penulis: Adam J. Silverstein | Penerbit: Oxford University Press, 2018 | Tebal: 232 halaman | ISBN: 0198797222, 9780198797227
Studi yang melibatkan kegiatan pembacaan lintas kultural-tradisi di kalangan kesarjanaan studi historis, muncul dalam beberapa dekade terakhir. Sebagai salah satu metode, pembacaan secara intertekstual dapat lebih komprehensif dalam menaksir histori dari peradaban masa lalu. Hal ini beriringan dengan sebuah konsensus bahwa ‘tidak ada satu pun teks, tradisi, dan kultur, yang lahir di ruang isolasi sehingga memisahkan diri dari sekitarnya’. Dalam perkembangannya, kajian ini sering didapuk sebagai anak dari studi historis-kritis yang telah menjangkar dalam spektrum kesarjanaan studi Islam di Barat.
Veiling Esther, Unveiling Her Story: The Reception of a Biblical Book in Islamic Lands menjadi satu dari sekian karya Adam J. Silverstein yang menampakkan antusiasmenya dalam melakukan studi lintas tradisi. Dalam karya sebelum ini, Silverstein bahkan mengangkat topik seputar sistem pos pra-modern yang mungkin bagi orang awam tidak tergambar untuk dapat berakhir pada sebuah penelitian intertekstual (Silverstein, 2007).
Kali ini, kepekaan Silverstein tertuju pada terma “Haman” yang hanya muncul di enam ayat Al-Qur’an. Meski―dengan tidak bermaksud menggeneralisasi―tokoh Haman sering kali diterima begitu saja untuk sekadar mengisi posisi karakter antagonis cum figuran dari kisah Fir’aun. Namun, Silverstein mampu menyadari potensi materi mikro ini untuk menyimpan potongan histori masa lampau.
Haman: Fragmen Kecil Al-Qur’an yang Menyimpan Misteri
Kemunculan Haman di dalam Al-Qur’an, menurut Silverstein, menjadi sebuah irisan yang bersinggungan dengan nama yang sama di tradisi pendahulunya, salah satunya prominen pada kisah Esther di dalam Book of Esther (selanjutnya disebut BoE), sebagai bagian dari tradisi biblikal.
Di dalam BoE, Haman digambarkan sebagai tokoh jahat yang menyusun keutuhan cerita. Hanya saja, ada ketidaksamaan konteks antara Haman-nya Al-Qur’an dan Haman di dalam BoE yang membuat para sarjana sulit menangkap resonansi Al-Qur’an terhadap tradisi pendahulunya tersebut. Alih-alih beresonansi, ada yang justru menganggap Al-Qur’an buta-sejarah karena menyalahi pakem pendahulunya.
Untuk mengurai benang kusut tersebut, Silverstein melancarkan penelitiannya dengan keluar dari arus utama interteks tradisi muslim dan biblikal. Ia berusaha membuka horizon geografis, linguistik, atau agama tertentu untuk membunyikan narasi kesejarahan yang ekstensif (hlm. 3).
Pada dasarnya, profesor di Hebrew University of Jerusalem ini berupaya mencari bukti yang berserakan dari periode dan geografis yang membentang luas di Timur Tengah. Ia sadar bahwa untuk mencapai pemahaman yang utuh tentang Esther Studies, penelitian ‘teks Muslim dan biblikal’ sentris saja belum cukup untuk bisa membuka selubung peradaban masa lalu.
Ketidaksinkronan yang terjadi antara kisah Haman-nya Al-Qur’an dan BoE, baginya adalah sebuah bukti bahwa ketersingkapan realitas histori makro memerlukan pembacaan yang lebih lebar lagi. Kesadaran ini menjadi satu keunggulannya di tengah tren akademik mutakhir yang memakai kacamata kuda dan mengklaim bahwa sejarah Timur Tengah hanya berjangkar pada tradisi agama Abrahamik. Terlebih sekadar berasumsi kosong, bahwa induk segala tradisi Timur Tengah bertumpu pada tradisi biblikal (hlm. 29).
Ketidaksepakatan Al-Qur’an dan Narasi Biblikal: Sebuah Awal Pijakan
Setidaknya ada tiga persoalan besar yang berusaha diselidiki oleh Silverstein. Persoalan pertama adalah tentang alur dan konteks sebenarnya dari kisah Esther. Al-Qur’an memperlihatkan penyandingan Haman dengan Fir’aun, sebuah anomali yang tidak muncul sama sekali di BoE. Pun pula, tokoh-tokoh sentral di dalam BoE seperti Mordecai, Esther, Sang Raja (di MT Esther disebut Ahashwerosh, dan di versi LXX disebut Artaxerxes), berikut plot utamanya tampak tidak menyisakan residu di dalam Al-Qur’an.
Meski dihadapkan pada dua arus klaim sarjana di sekitarnya―pertama menyebut kebutasejarahan Al-Qur’an, dan kedua menyebut pembenaran Al-Qur’an terhadap unsur divinitasnya―Silverstein memilih untuk menyebut persinggungan narasi Al-Qur’an atas Haman dan Fir’aun tidak lebih dari alasan aspek sastrawi saja (hlm. 19-22).
Dasar klaim Silverstein difondasikan atas berbagai kepingan bukti masa lalu yang telah ditemukannya. Al-Qur’an memang hanya menyebut Haman dalam konteks kisah Fir’aun, namun terdapat fragmen plot, seperti persekutuan Haman dan Fir’aun, pembangunan menara (sarh), dan karakter jahat yang mengisi keduanya (hlm. 17-18).
Profesor jebolan University of Oxford ini menemukan beragam modus penulisan ketika mengkaji teks yang dihasilkan oleh para sarjana muslim, mulai dari menghilangkan kekarakteran Esther (dilakukan oleh Al-Isfahani, Al-Ya‘qubi, dan Al-Mas‘udi), mengganti nama Haman menjadi Haymun (dilakukan oleh Al-Nuwayri, Al-Qalqashandi, dan Al-Maqrizi, menghilangkan kekarakteran Haman (dilakukan oleh Al-Ṭabari), hingga seturut karakter sebagaimana yang ada pada BoE (dilakukan oleh Al-Biruni dan Ibn Khaldun).
Bukan hanya berkaitan dengan eksistensi karakter tertentu saja, versi cerita yang dibawakan pun berbeda-beda. Disimilaritas ini, kata Silverstein, disebabkan karena perbedaan pijakan dalam menyikapi narasi kitab suci yang mereka yakini vis a vis sumber-sumber Persia kuno yang mereka ketahui. Satu versi yang baginya menarik adalah narasi yang dibawakan oleh al-Ṭabari, di mana fokus ceritanya lebih pada kisah Raja (Ahashwerosh) dibanding Esther itu sendiri (hlm. 41-58).
Penelitian terhadap Teks Kompleks Area Timur Tengah
Silverstein kemudian menyisir teks-teks yang dihasilkan oleh masyarakat Samaria (bukan dari muslim). Satu teks yang dipertimbangkannya adalah pengerjaan ulang (reworking) kisah Esther di abad keempat belas yang ditulis oleh Abu al-Fath ibn Abi al-Hasan. Cerita yang dibawakan oleh Abu al-Fath, sebagaimana diperkuat oleh teori Zadok, memunjukkan bahwa ada perseteruan di antara kaum Samaria dan kaum Yahudi di periode sebelum masehi. Versi ini mengarahkan pada dugaan, di mana kisah Esther sebenarnya bercerita tentang konflik komunitas Samaria (hlm. 65).
Ditambah lagi, Abu al-Fath membalikkan peran kaum Yahudi—yang diceritakan di BoE sebagai protagonis—menjadi antagonis, begitu pula peran kaum Samaria yang dinarasikan sebagai peran protagonis (mengganti peran Esther dan Mordecai). Diceritakan juga plot tambahan, seperti berkumpulnya para pendeta (priests) untuk berdoa bersama atas keselamatan kaum Samaria (hlm. 67-69).
Dalam komparasi terhadap sumber-sumber midras Persia―tempat yang didapuk menjadi latar utama pengisahan Esther―Silverstein menemukan keterkaitan narasi antara Haman dan Abraham/Ibrahim, baik kesamaan konteks maupun plot cerita tertentu, sebagai dua orang yang memiliki hubungan saudara.
Pada kamus bahasa Persia yang ditulis oleh Deh Khoda (w. 1955), subjek kata ‘Haman’ didefinisikan sebagai “Nama dari saudara Tuan kami, Abraham, di mana ia dilalap oleh api ketika berhala dibakar.” Diikuti oleh istilah ‘Haman-Suz’ yang didefinisikan sebagai “sebuah perayaan, di mana umat Yahudi membuat patung yang dinamakan Haman (wazir Ahashwerosh), menggantungnya, kemudian membakarnya.”
Hal ini sekaligus beririsan dengan istilah ‘Haman-Suz’ yang digunakan oleh Al-Biruni untuk menyebut perayaan Purim. Tampak bahwa konteks ‘pembakaran’ eksis baik di kisah Abraham maupun Haman. Selain itu, didapat juga kesamaan nama ibu keduanya (Talmud Babilonia menuliskan ibu Abraham bernama Amthelai, pun ibu Haman dikisahkan dengan nama yang sama) (hlm. 80-9).
Cerita rakyat Persia menjadi tujuan selanjutnya bagi Silvestein. Pada region ini, ia berhasil menemukan irisan di antara kisah 1001 malam dan Esther. Kedua kisah itu sama-sama membuat plot di mana seorang raja (Bahman di dalam 1001 malam—Ahashwerosh di dalam BoE) menemui alur pembangkangan istrinya, sehingga menyebabkannya berupaya mencari ratu baru. Di sinilah kemudian tokoh utama (Shahrazad–Esther) muncul (hlm. 99).
Bukan hanya dalam 1001 malam, kesamaan pola alur juga ditemukan dalam kisah lain, yaitu Samak-e ‘Ayyar, yang membangun narasinya dengan plot pembunuhan raja oleh kasim. Alur ini serupa dengan kisah Esther, saat Mordecai diceritakan menggagalkan upaya percobaan pembunuhan raja yang dilakukan oleh kasim (hlm. 118).
Cerita lain yang plotnya serupa adalah puisi Vis dan Ramin, di mana Vis dan Viru menikah pada tanggal yang sama dengan perayaan Purim, peran kasim yang membujuk raja untuk membinasakan suatu komunitas (hlm. 120-124). Pembaca pun ditarik oleh Silverstein untuk semakin percaya bahwa kisah Esther memang berserakan di tradisi Timur Tengah dan induknya bukan pada tradisi biblikal.
Kisah Haman: Apakah Benar Anomali Sejarah?
Persoalan kedua yang berupaya diuraikan oleh Silverstein adalah mengenai hubungan antara Haman dan Fir’aun itu sendiri. Oleh Al-Qur’an, Haman diletakkan berjajar dengan Fir’aun yang mafhum bertempat di Mesir Kuno (peradaban Pharaonic), sementara BoE memosisikannya bersama Mordecai dan tokoh lainnya di kekaisaran Persia (peradaban Achaemenid). Untuk menguraikan persoalan ini, Silverstein sampai pada pengkajian partikel persinggungan keduanya, khususnya penggunaan sebutan ‘Bagoas/Bougaios’ untuk merujuk pada Haman yang ada pada tulisan Yunani dan beberapa tulisan muslim.
Meski masih diperdebatkan di kalangan sarjana biblikal, fakta yang patut digarisbawahi adalah komunitas Yahudi―sebagai pemangku utama tradisi Estherian―masa itu (sekitar periode Bait Suci Kedua, muncul dalam kitab Yudit) sudah memahami bahwa julukan ini dinisbatkan pada tokoh jahat dari Persia. Sumber yang lain menyebut bahwa ‘Bagoas’ adalah orang Persia yang mendirikan dinasti Fir’aun di Mesir (hlm. 127-133).
Dari sini kemudian membuka cakrawala bahwa bahkan di kalangan komunitas Timur Tengah periode Antique dan periode sekitarnya, kata kunci seputar ‘Bagoas/Bougaios’, tokoh jahat, Persia, dan dinasti Fir’aun, sudah menjadi kesatuan yang membentuk wawasan.
Persoalan ketiga diarahkan pada problematisasi plot kisah Esther di dalam BoE. Diceritakan bahwa konflik Mordecai dan kaumnya (Yahudi) versus Haman disebabkan oleh penolakan Mordecai untuk berlutut pada Haman, padahal raja telah memerintahkan semua pejabat kekaisaran (termasuk Mordecai) untuk melakukannya. Hal ini yang kemudian dipertanyakan oleh Silverstein, ‘mengapa ada plot penolakan?’, yang bahkan di kalangan Yahudi sekali pun, masih menjadi sebuah persoalan yang masih samar.
Narasi pada BoE (khususnya versi MT Esther) berkata bahwa alasan Mordecai tidak mau berlutut pada Haman adalah identitasnya sebagai Yahudi, padahal di dalam Bibel Ibrani, jelas tidak ada yang salah ketika seseorang bertindak demikian pada orang lain. Pun pula, banyak kasus di mana orang Israel, bahkan Patriark sekali pun, berlutut pada orang lain, menunjukkan diterimanya gestur ini di kalangan Yahudi. Mengomentari kisah Esther, beberapa orang Yahudi menulis kekecewaannya terhadap tindakan Mordecai, karena plot menceritakan tindakannya menyebabkan komunitas ikut terimbas oleh ancaman pembinasaan (hlm. 146-148).
Plot Penolakan Gestur Tunduk: Sebuah Register Penghubung dengan Tradisi Kuno
Sebagai rasionalisasi penolakan tunduk Mordecai, kata Silverstein, setidaknya ada dua alasan yang mendasarinya. Pertama, penolakan Mordecai didasarkan pada asosiasi tindakan tunduk pada berhala yang dikecam di kalangan Yahudi. Kedua, penolakan ini sebenarnya merupakan alur yang berkelanjutan dari versi tradisi yang menyebut bahwa Haman dulunya adalah budak Mordecai, sehingga ia enggan untuk berlutut dengan alasan personal tersebut.
Apa yang menarik adalah versi kedua didapat Silverstein dari tradisi Yunani Kuno, yang diceritakan ulang di Talmud Babilonia, muncul lagi di narasi Al-Ṭabari, dan beberapa midras abad pertengahan (hlm. 149-151). Silverstein tidak membincang banyak tentang ini, akan tetapi lebih fokus pada diskusi tentang gestur sujud itu sendiri.
Tunduk, berlutut, bahkan sujud di hadapan penguasa, terang Silverstein, merupakan praktik yang lumrah dilakukan dalam tradisi Persia. Sementara itu, ditemukan dalam tradisi Canaanite di Barat—tertulis pada Baal Cycle beraksara Ugarit yang diperkirakan ada pada abad 15 hingga 12 SM, seribu tahun lebih tua dari kisah Esther—sebuah plot tentang larangan gestur tubuh ini dalam konteks mitologi dewa. Di letak geografis yang berlawanan, ada sebuah kisah dari mitologi Mesopotamia di Timur yang menceritakan tentang Ereshkigal dan Negal dengan plot penolakan gestur yang sama (Negal menolak menunduk terhadap utusan Ereshkigal) (hlm. 153-157).
Bukan hanya dalam mitologi Semitik, alur yang senada juga ditunjukkan dalam tradisi biblikal dan disuarakan lagi melalui Al-Qur’an, seperti dalam kisah Adam dan Iblis (hlm. 165). Bukti-bukti ini semakin memperkuat argumen Silverstein, bahwa penolakan menunduk merupakan alur yang jamak digunakan dalam narasi kisah-kisah tradisi Timur Tengah.
Sebagai penutup, agaknya yang perlu disorot adalah upaya Silverstein untuk menyuarakan hujahnya yang dengan lantang berargumen bahwa detail apa pun dalam tradisi di dalam agama Abrahamik tidak bisa dilepaskan begitu saja dari konteks lokasi di mana ia berada, yang dalam hal ini adalah lakon Haman―atau lakon Esther secara umum.
Mulai dari nama tokoh, gelar, hingga plot yang membangunnya mewakili tradisi Timur Tengah yang membentang luas. Meski eksekusinya belum sampai pada diskusi yang serius tentang induk sebenarnya dari tradisi lakon Haman, tawarannya untuk tidak mencukupkan studi intertekstual pada tahap arus utama superioritas agama Abrahamik atas seluruh tradisi Timur Tengah menjadi prasaran yang segar di jagat kajian intertekstual. Ia secara lugas menyajikan data yang telah ia peroleh, lengkap dengan monolog bernadakan kontra presumsi di akhir setiap bab yang khas ala dirinya.
Pernyataan bahwa fragmen-fragmen lakon Haman yang ada di dalam BoE, Al-Qur’an, dan teks-teks lain di Timur Tengah bukan lain didasarkan atas konteks sastrawi menjadi argumen finalnya. Dari sini sekaligus menjadi kunci yang membuka kemungkinan penelitian lebih lanjut, baik dari studi Islam, studi biblikal, hingga bahkan studi komunitas Yahudi dalam cakupan kawasan Timur Tengah.
Category : resensi
SHARE THIS POST
Lapak MJS
- Sekar Macapat dalam Wacana dan Praktik
- Nisan Hamengkubuwanan: Artefak Makam Islam Abad XVIII-XIX di Yogyakarta dan Sekitarnya
- Lima Puluh Tahun: Meniti Jalan Kembali
- Buletin Bulanan MJS Edisi ke-9 Maret 2025 M
- Buku Terjemah Rasa II: Tentang Hidup, Kebersamaan, dan Kerinduan
- Buku Ngaji Pascakolonial