Kunci Sukses Meraih Hidup Berkah

slider
23 Oktober 2025
|
237

Ngaji Rutin Selasa Malam: Kunci Sukses Meraih Hidup Berkah | Ust. Dr. Muhammad Taufik, M.Ag. | Selasa, 30 September 2025

Setiap manusia tentu menginginkan kehidupan yang sukses dan bahagia. Namun, sering kali ukuran kesuksesan yang digunakan terbatas pada pencapaian materi, jabatan, dan popularitas. Padahal, Islam mengajarkan bahwa kesuksesan sejati bukan hanya diukur dari seberapa banyak harta atau prestasi duniawi yang dimiliki, melainkan sejauh mana hidup itu penuh keberkahan (barakah). Keberkahan adalah kualitas hidup yang membuat sesuatu yang tampak kecil menjadi bermakna besar, sesuatu yang sederhana menjadi mencukupi, dan kehidupan yang sulit menjadi penuh ketenangan batin.

Konsep hidup berkah merupakan bagian dari ajaran Islam yang sangat mendasar. Al-Qur’an memberikan panduan tentang bagaimana seseorang bisa meraih keberkahan dalam hidupnya. Salah satu panduan yang sangat komprehensif mengenai hal ini dapat ditemukan dalam surah Al-Mu’minun ayat 111, yang menggambarkan karakter dan perilaku orang-orang beriman yang akan meraih kesuksesan sejati di dunia dan akhirat.

Makna Kesuksesan yang Hakiki

Dalam pandangan Islam, sukses bukanlah semata-mata capaian materi, tetapi keselarasan antara keberhasilan dunia dan akhirat. Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an surah Al-Mu’minun ayat 1, “Qad aflahal-mu’minun” (Sungguh, beruntunglah orang-orang mukmin).

Kataaflaha dalam ayat tersebut berasal dari akar katafalah”, yang berarti keberhasilan yang menyeluruh. Hal tersebut mencakup keselamatan, ketenteraman, dan kebahagiaan dunia-akhirat.[1] Artinya, keberuntungan sejati hanya dimiliki oleh orang-orang beriman yang mengisi kehidupannya dengan amal saleh dan ketakwaan kepada Allah.[2]

Dengan demikian, keberhasilan hidup tidak sekadar diukur dari seberapa tinggi jabatan atau seberapa banyak harta, tetapi sejauh mana seseorang mendapatkan ridha Allah dan mampu menjadikan hidupnya bermanfaat bagi orang lain.

Ciri-Ciri Orang yang Mendapat Hidup Berkah

Surah Al-Mu’minun ayat 1–11 menggambarkan tujuh ciri utama orang beriman yang akan mendapatkan keberkahan hidup.

Pertama, khusyuk dalam shalat. “Alladzina hum fi shalatihim khasyi‘un.” Artinya, “(Yaitu) orang-orang yang khusyuk dalam shalatnya.” (QS. Al-Mu’minun [23]: 2).

Khusyuk berarti menghadirkan hati sepenuhnya kepada Allah saat beribadah.[3] Dalam konteks modern, khusyuk dapat dimaknai sebagai kemampuan seseorang untuk fokus, meninggalkan urusan dunia sejenak, dan merasakan kehadiran spiritual yang mendalam dalam setiap ibadah. Rasulullah Saw bersabda, “Shalat adalah mi‘rajnya orang beriman.” (HR. Al-Baihaqi).[4] Shalat yang khusyuk akan menumbuhkan kedisiplinan dan ketenangan batin, yang menjadi kunci keberhasilan dalam kehidupan sehari-hari.

Kedua, menjauhi perbuatan sia-sia. Walladzina hum ‘anil-laghwi mu‘ridlun.” Artinya, “Orang-orang yang meninggalkan (perbuatan dan perkataan) yang tidak berguna.” (QS. Al-Mu’minun [23]: 3).  

Orang yang beriman selalu menjaga diri dari hal-hal yang tidak bermanfaat. Ia hanya menggunakan waktu dan tenaganya untuk sesuatu yang mendekatkan diri kepada Allah atau memberi manfaat kepada sesama. Rasulullah Saw bersabda, “Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lain.” (HR. Al-Tabarani).[5]

Ketiga, menunaikan zakat. “Walladzina hum liz-zakati fa‘ilun.” Artinya, “Orang-orang yang menunaikan zakat.” (QS. Al-Muminun [23]: 4).

Zakat bukan hanya kewajiban sosial, tetapi juga sarana penyucian diri dan harta.[6] Dengan berzakat, seseorang tidak hanya membantu sesama, tetapi juga menghilangkan sifat kikir dan memperkuat solidaritas sosial. Sejarah mencatat, sahabat Utsman bin ‘Affan dikenal sebagai teladan dermawan yang menginfakkan hartanya untuk kemaslahatan umat.[7]

Keempat, menjaga kehormatan diri. “Walladzina hum lifurujihim hafidhun.” Artinya, “Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya.” (QS. Al-Mu’minun [23]: 5).

Islam menekankan pentingnya menjaga kesucian diri dari zina dan perbuatan keji. Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an surah Al-Isra’ ayat 32, Wa la taqrabuz-zina innahu kana fahisyah, wa sa’a sabila.” Artinya, “Janganlah kamu mendekati zina. Sesungguhnya (zina) itu adalah perbuatan keji dan jalan terburuk.”

Menjaga diri berarti menjaga martabat pribadi dan kehormatan keluarga. Dalam masyarakat modern yang penuh godaan, menjaga pandangan dan kehormatan menjadi bentuk nyata dari kesalehan.

Kelima, amanah dan menepati janji. Walladzina hum li’amanatihim wa ‘ahdihim ra‘un.” Artinya, “(Sungguh beruntung pula) orang-orang yang memelihara amanat dan janji mereka.” (QS. Al-Mu’minun [23]: 8).

Amanah adalah fondasi moral bagi setiap muslim. Dalam konteks sosial, sifat amanah menjadi pondasi kepercayaan publik terhadap pemimpin, pegawai, dan masyarakat secara umum. Rasulullah Saw bersabda, “Tidak ada iman bagi orang yang tidak memiliki amanah.” (HR. Ahmad).[8]

Keenam, memelihara shalat. Walladzina hum ‘ala shalawatihim yuhafidhun.” Artinya, “Orang-orang yang memelihara shalat mereka.” (QS. Al-Mu’minun [23]: 9).

Menjaga shalat berarti melaksanakan ibadah tepat waktu dan dengan penuh konsistensi. Rasulullah Saw bersabda, “(Shalat paling utama adalah) di awal waktunya. (HR. Tirmidzi).[9] Shalat yang terjaga akan menjadi benteng dari perbuatan maksiat dan menumbuhkan kesadaran spiritual dalam kehidupan sehari-hari.[10]

Hasil dari Keberkahan Hidup

Setelah menjelaskan ciri-ciri orang beriman, Allah SWT menutup ayat-ayat tersebut dengan firman-Nya, Ula’ika humul-waritsun.” Artinya, “Mereka itulah orang-orang yang akan mewarisi.” (QS. Al-Mu’minun [23]: 10).

Alladzina yaritsunal-firdaus, hum fiha khalidun.” Artinya, “(Yaitu) orang-orang yang akan mewarisi (surga) Firdaus. Mereka kekal di dalamnya.” (QS. Al-Mu’minun [23]: 11).

Keberkahan hidup berujung pada kebahagiaan abadi di surga Firdaus. Dalam tafsir Al- Misbah, M. Quraish Shihab menjelaskan bahwa “pewaris surga” bermakna mereka yang memperoleh balasan karena menjaga kesucian iman dan amal saleh di dunia.[11]

Penutup

Hidup berkah tidak datang begitu saja. Ia adalah hasil dari upaya konsisten untuk menjaga hubungan dengan Allah (hablun minallah) dan dengan sesama manusia (hablun minannas). Kesuksesan yang sejati adalah ketika seseorang tidak hanya berhasil di dunia, tetapi juga memperoleh kebahagiaan di akhirat.

Kunci sukses itu telah Allah jelaskan dalam surah Al-Mu’minun: beriman dengan sungguh-sungguh, khusyuk dalam salat, menjauhi hal sia-sia, menunaikan zakat, menjaga kehormatan diri, amanah, dan memelihara ibadah. Jika nilai-nilai tersebut diterapkan dalam kehidupan modern, baik oleh mahasiswa, pemimpin, maupun masyarakat luas, maka keberkahan akan hadir dalam setiap langkah kehidupan.

Referensi:

Ahmad bin Hanbal. Musnad Ahmad. Beirut: Dar al-Fikr, 1995.

Al-Baihaqi. Syu‘ab al-Iman. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2003. Al-Ghazali. Ihya’ Ulum al-Din. Kairo: Dar al-Ma‘rifah, 2004.

Al-Ṭabarani. Al-Mujam al-Kabir. Beirut: Dar Ihya’ al-Turats al-Arabi, 1983. Al-Tirmidzi. Sunan al-Tirmidzi. Riyadh: Maktabah al-Maarif, 1998.

Ibnu Katsir. Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim. Beirut: Dar al-Fikr, 1992. Ibnu Sa‘d. Tabaqat al-Kubra. Beirut: Dar Sadir, 1960.

M. Quraish Shihab. Tafsir al-Misbah. Jakarta: Lentera Hati, 2002.

M. Quraish Shihab. Wawasan al-Qur’an. Bandung: Mizan, 2000.

Sayyid Quthb. Fi Zhilal al-Qur’an. Kairo: Dar al-Syuruq, 1985.

 

[1] Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Vol. 7 (Jakarta: Lentera Hati, 2002), hlm. 3.

[2] Ibnu Katsir, Tafsir al-Quran al-‘Azhim, Jilid 5 (Beirut: Dar al-Fikr, 1992), hlm. 442.

[3] Al-Ghazali, Ihya’ Ulum al-Din, Jilid 1 (Kairo: Dar al-Marifah, 2004), hlm. 134.

[4] Al-Baihaqi, Syu‘ab al-Iman, No. 2894.

[5] Al-abarani, Al-Mu‘jam al-Kabir, No. 13246.

[6] Sayyid Quthb, Fi Zhilal al-Qur’an, Jilid 5 (Kairo: Dar al-Syuruq, 1985), hlm. 107

[7] Ibnu Sa‘d, Tabaqat al-Kubra, Vol. 3 (Beirut: Dar Sadir, 1960), hlm. 45.

[8] Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad, No. 12565.

[9] Al-Tirmidzi, Sunan al-Tirmidzi, No. 152.

[10] M. Quraish Shihab, Wawasan al-Quran (Bandung: Mizan, 2000), hlm. 212.

[11] M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Vol. 7, hlm. 11.


Category : kolom

SHARE THIS POST


ABOUT THE AUTHOR

Alfi Sahrin Al Gulam Lubis

Mahasiswa Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Saat ini sedang magang di Lini Media Masjid Jendral Sudirman