Mengelola Emosi Orang Tua agar Tidak Menular ke Anak

slider
06 November 2025
|
110

Ngaji Rutin Selasa Malam: Mengelola Emosi Orang Tua Agar Tidak Menular ke Anak | Ust. Gathut Satrio Winahyu | Selasa, 14 Oktober 2025

Kepribadian anak tidak lahir secara tiba-tiba. Ia terbentuk sejak dalam kandungan, seiring dengan perilaku, emosi, dan kondisi psikologis orang tuanya. Dalam Islam, konsep ini telah lama disadari melalui pandangan bahwa anak merupakan amanah yang harus dijaga bukan hanya fisiknya, tetapi juga jiwanya.[1] Ketika orang tua sedang dilanda emosi, tanpa disadari, gelombang emosional itu dapat menular pada anak, baik melalui ekspresi verbal, intonasi suara, maupun atmosfer psikologis di rumah.

Dalam konteks modern, psikologi menyebut fenomena ini sebagai emotional contagion atau penularan emosi.[2] Artinya, suasana hati seseorang dapat menular ke orang lain yang dekat secara emosional. Rasulullah Saw telah memberikan teladan bagaimana mengelola emosi dengan ketenangan dan zikir sebagai sarana menstabilkan hati.

Kisah Reflektif: Tekanan Emosional dari Orang Tua

Suatu hari, seorang mahasiswa datang ke klinik kampus mengeluh tentang kelelahan dan rasa malas yang tidak wajar saat menyusun skripsi. Setelah diperiksa, ternyata penyebab utamanya bukan faktor fisik, melainkan tekanan psikologis akibat tuntutan keras dari orang tuanya. Skripsinya belum terlambat, tetapi ekspektasi yang tinggi membuatnya kehilangan semangat dan energi batin.

Mahasiswa tersebut sebenarnya marah dan kecewa kepada orang tuanya, namun tidak berani meluapkannya karena takut dianggap durhaka. Akibatnya, emosi yang terpendam itu berubah menjadi kelelahan dan sikap menarik diri.

Padahal Rasulullah Saw bersabda:

نْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ، قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ أَحَبَّ أَنْ يُمَدَّ فِي عُمْرِهِ، وَيُزَادَ فِي رِزْقِهِ، فَلْيَبَرَّ وَالِدَيْهِ، وَلْيَصِلْ رَحِمَهُ

Dari Anas bin Malik ra., Rasulullah bersabda: Barang siapa yang ingin dipanjangkan umurnya dan dilapangkan rezekinya, maka hendaklah ia berbakti kepada kedua orang tuanya dan menyambung silaturahmi.” (HR. Ahmad).[3]

Hadis ini menegaskan pentingnya berbakti kepada orang tua, tetapi juga mengingatkan bahwa kasih sayang orang tua tidak boleh menjadi tekanan psikis bagi anak. Kebaikan harus tumbuh dari cinta, bukan ketakutan.

Tanggung Jawab Emosional Orang Tua dalam Al-Qur’an

Firman Allah dalam Al-Qur’an surah At-Tahrim ayat 6 menjadi dasar tanggung jawab spiritual orang tua, “Ya ayyuhalladzina amanu qu anfusakum wa ahlikum naraw wa quduhan-nasu wal-hijaratu ‘alaiha mala’ikatun ghiladhun syidadul la ya‘shunallaha ma amarahum wa yaf‘aluna ma yu’marun.”

Artinya, “Wahai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu. Penjaganya adalah malaikat-malaikat yang kasar dan keras. Mereka tidak durhaka kepada Allah terhadap apa yang Dia perintahkan kepadanya dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.”

Ketika Allah menggunakan seruan “Ya ayyuhalladzina amanu”, itu menandakan adanya pesan yang amat penting bagi umat beriman. Dalam konteks keluarga, ayat ini dapat dimaknai bahwa pengendalian diri, termasuk emosi. Hal tersebut adalah bagian dari menjaga keluarga dari kerusakan spiritual dan sosial.[4]

Rasulullah Saw dan Teladan Pengelolaan Emosi

Rasulullah Saw dikenal sangat sabar dan bijak dalam mengelola emosi. Dalam suatu riwayat, beliau pernah diam lama saat Abu Bakar dan Umar datang berkunjung. Ketika Umar kemudian bercerita tentang istrinya yang sering memarahinya, Rasulullah justru tersenyum lebar hingga terlihat gigi indah beliau. Senyum itu bukan tanda menertawakan, melainkan cara Rasulullah menenangkan suasana dan mengalihkan energi emosi menjadi tawa bersama.

Dalam kisah lain, Ummu Salamah pernah mengirimkan makanan kepada Rasulullah ketika beliau sedang berada di rumah Aisyah. Karena cemburu, Aisyah sempat hampir membanting wadah makanan tersebut. Rasulullah tidak marah. Beliau hanya tersenyum dan berkata, “Kamu sedang cemburu.”[5]

Dari dua peristiwa ini, kita belajar bahwa Rasulullah tidak menolak emosi manusiawi seperti marah atau cemburu, tetapi beliau menyalurkannya dengan tenang. Zikir menjadi salah satu cara beliau menstabilkan hati ketika emosi muncul.

Dzikir sebagai Regulasi Emosi

Zikir bukan hanya ritual, tetapi juga terapi spiritual yang efektif. Allah berfirman dalam Al-Qur’an surah ar-Ra‘d ayat 28, “Alladzina amanu wa tathma’innu qulubuhum bidzikrillah, ala bidzikrillahi tathma’innul-qulub.” Artinya, “(Yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, bahwa hanya dengan mengingat Allah hati akan selalu tenteram.”

Secara psikologis, zikir membantu mengaktifkan sistem saraf parasimpatik, yang berfungsi menenangkan tubuh dan pikiran.[6] Karenanya, zikir mampu meredam kemarahan, menurunkan detak jantung, dan menyeimbangkan hormon stres.

Sebaliknya, emosi negatif yang tidak diolah akan memunculkan perilaku destruktif. Dalam konteks media modern, hoaks yang disebarkan terus-menerus pun bisa menjadi kebenaran yang buruk, karena penguatan sugesti negatif hingga terasa benar. Maka, pengelolaan emosi juga berarti mengatur konsumsi informasi agar tidak membentuk keyakinan palsu.

Gerak Fisik dan Strategi Nabi Saat Emosi

Rasulullah Saw juga mengajarkan strategi fisik sederhana saat marah: “Jika kamu marah dalam keadaan berdiri, maka duduklah; jika masih marah, berbaringlah.”[7] Ini sejalan dengan teori embodied cognition dalam psikologi modern, yang menjelaskan bahwa posisi tubuh dapat memengaruhi kondisi emosional seseorang.[8]

Artinya, Islam sudah lama mengajarkan regulasi emosi berbasis gerak, jauh sebelum ilmu psikologi kognitif modern meneliti hal tersebut. Dalam konteks rumah tangga, gerak tubuh seperti mengubah posisi, berwudhu, atau meninggalkan ruangan sejenak bisa menjadi bentuk cooling down yang sunnah.

Peran Ibu sebagai Madrasatul ‘Ula

Rasulullah Saw bersabda bahwa ibu adalah madrasatul ‘ula, sekolah pertama bagi anaknya.[9] Ibu bukan hanya pengasuh, tetapi juga emotional model bagi perkembangan psikis anak. Ketika ibu tenang, anak belajar meniru ketenangan itu. Sebaliknya, jika ibu mudah meledak, anak pun merekam pola reaksi serupa.

Dalam psikologi Islam, hal ini disebut ta’sir nafsi, pengaruh kejiwaan yang menular.[10] Karena itu, sebelum menasihati anak, sebaiknya orang tua menciptakan suasana nyaman lebih dahulu, misalnya dengan menyuguhkan makanan, berbicara lembut, atau menunggu hingga anak tenang.

Nasihat yang diberikan pada saat emosi justru bisa memperburuk keadaan. Ibnu Qayyim al-Jauziyyah menulis, “Perkataan yang keluar dari hati akan sampai ke hati, namun jika hanya keluar dari lisan, ia takkan melewati telinga.”[11] Artinya, komunikasi yang efektif membutuhkan kejernihan hati.

Komunikasi Empatik dalam Rumah Tangga

Rasulullah Saw sangat memperhatikan diksi dan intonasi dalam berkomunikasi. Kata yang lembut mampu menenangkan hati, sementara intonasi keras dapat menyalakan bara konflik. Oleh sebab itu, emotional literacy dalam keluarga menjadi penting, yakni kemampuan mengenali, memahami, dan mengekspresikan emosi secara sehat.[12]

Komunikasi empatik tidak berarti menahan semua emosi, tetapi mengungkapkannya dengan bijak. Islam tidak mengajarkan represi emosi, melainkan sublimasi: mengubah energi emosi menjadi kebaikan.

Penutup

Mengelola emosi adalah bagian dari jihad terbesar: jihad melawan diri sendiri (jihad an-nafs). Orang tua yang mampu mengendalikan emosinya bukan hanya menjaga hubungan dengan anak, tetapi juga mendidik dengan keteladanan spiritual.

Dengan zikir, empati, dan komunikasi yang lembut, suasana rumah tangga menjadi tempat tumbuhnya jiwa-jiwa tenang, sebagaimana janji Allah, “… ala bidzikrillahi tathma’innul-qulub.” Artinya, “… ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram.”

Referensi:

Al-Ghazali. Ihya’ Ulum al-Din. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2005.

Elaine Hatfield, John T. Cacioppo, and Richard L. Rapson. Emotional Contagion. Cambridge: Cambridge University Press, 1994.

Ahmad bin Hanbal. Musnad Ahmad. Beirut: Mu’assasah al-Risalah, 1999, Juz 3.

M. Quraish Shihab. Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur’an. Jakarta: Lentera Hati, 2002.

Ibn Hajar al-‘Asqalani. Fath al-Bari Syarh Shahih al-Bukhari. Kairo: Dar al-Rayan, 1987, hlm.

Abdul Mujib. Kepribadian dalam Psikologi Islam. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2006.

Abu Dawud. Sunan Abi Dawud. Beirut: Dar al-Kitab al-‘Arabi, 2002, Kitab al-Adab.

George Lakoff and Mark Johnson. Philosophy in the Flesh: The Embodied Mind and Its Challenge to Western Thought. New York: Basic Books, 1999.

Al-Hakim. Al-Mustadrak ‘ala al-Sahihain. Beirut: Dar al-Ma‘rifah, 1990.

Hamdani Bakran Adz-Dzaky. Psikoterapi dan Konseling Islam. Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru.

Ibn Qayyim al-Jauziyyah. Madarij al-Salikin. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1996.

Daniel Goleman. Emotional Intelligence. New York: Bantam Books, 1995.

 

[1] Al-Ghazali. Ihya’ Ulum al-Din. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2005, hlm. 112.

[2] Elaine Hatfield, John T. Cacioppo, and Richard L. Rapson. Emotional Contagion. Cambridge: Cambridge University Press, 1994, hlm. 95.

[3] Ahmad bin Hanbal. Musnad Ahmad. Beirut: Mu’assasah al-Risalah, 1999, Juz 3, hlm. 184

[4] M. Quraish Shihab. Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur’an. Jakarta: Lentera Hati, 2002, hlm. 471.

[5] Ibn Hajar al-‘Asqalani. Fath al-Bari Syarh Shahih al-Bukhari. Kairo: Dar al-Rayan, 1987, hlm. 312.

[6] Abdul Mujib. Kepribadian dalam Psikologi Islam. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006, hlm. 74.

[7] Abu Dawud. Sunan Abi Dawud. Beirut: Dar al-Kitab al-‘Arabi, 2002, Kitab al-Adab, hlm. 132

[8] George Lakoff and Mark Johnson. Philosophy in the Flesh: The Embodied Mind and Its Challenge to Western Thought. New York: Basic Books, 1999, hlm. 57.

[9] Al-Hakim. Al-Mustadrak ‘ala al-Sahihain. Beirut: Dar al-Ma‘rifah, 1990, hlm. 239.

[10] Hamdani Bakran Adz-Dzaky. Psikoterapi dan Konseling Islam. Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 2001, hlm. 63.

[11] Ibn Qayyim al-Jauziyyah. Madarij al-Salikin. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1996, hlm. 149.

[12] Daniel Goleman. Emotional Intelligence. New York: Bantam Books, 1995, hlm. 113.


Category : kolom

SHARE THIS POST


ABOUT THE AUTHOR

Alfi Sahrin Al Gulam Lubis

Mahasiswa Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Saat ini sedang magang di Lini Media Masjid Jendral Sudirman